Selalu saja idealisme menanggalkan manusia yang terkadang rapuh tersebut. Namun dengan berbagai suara yang dirasakan oleh batin sendiri, apakah tidak pernah ada intervensi dari manusia dalam berpikir? Selalu saja ambigu, apakah mungkin perasaan batin mendahuli pikiran, ataukah sebaliknya, pikiran yang mempengaruhi suara batin?
Tidak begitu dapat tergambar jelas, tentang sesuatu yang manusia ingini sebelumnya, apakah memang dari banyak keinginan tersebut hanyalah kemenarikan energi yang ilusif? Terkadang hidup memang terbaui, dan tentang cinta dari mana datangnya, mungkinkah dari mata turun ke hati yang sudah banyak digembor-gemborkan orang mendefinisikan cinta?
Seperti tidak tergambar jelas dalam angan manusia. Mobil-mobil berlarian seperti tidak akan mencapai tujuan. Tetapi dengan makna dalam berbagai tujuan itu, apakah memang ia "cinta" layak dituju oleh setiap manusia sebagai titik tujuannya?
Sore yang dirasa begitu nikmat, mungkin dengan kata ideal yang benar kita idealkan itu, menyandarkan diri pada bentuk ideal haruslah benar-benar menjadi sandaran dalam bersikap, untuk menanggapi berbagai yang "ideal" tersebut---- berdamai didalam imajinasi sebagai manusia itu sendiri memandang hidup dan narasi absurd cinta mereka.
"Biarlah ini menjadi tanda, dalam kemalangan, memang yang terkadang menjadi siksa sebelum manusia masuk neraka paling jahanam disana. Ia harus menerima bahwa; ia selalu disiksa oleh pikirannya sendiri dalam menjadi manusia, dan celakanya dasar dari cinta tersebut, rasanya hanya orang-orang yang mendramatisir kisahlah yang membuat cinta itu dari mata lalu turun ke hari, padahal cinta dari pikiran, hati hanyalah dukungan bagi kendali pikiran".
Tentang mata memang tidak pernah bohong, ia hanyalah obyek pengelihatan yang tidak pernah selsai melihat keindahan termasuk bagian dari obyek cinta itu sendiri. Tetapi mungkinkah apa yang dinamakan neraka itu ada didalam realitasnya sendiri bahwa; neraka adalah cara berpikirnya yang menyiksa hidupnya? Dimana pikiran itu tidak pernah berhenti dan membuat kegaduhan jiwa yang tidak mereka ingini? Termasuk mungkin kata "cinta" dalam hidup manusia?
Malam yang terkadang sangat melelahkan, mengapa dengan ide-ide kebaruan dalam hening tanpa pikiran itu terus saja hilang ketika badan manusia mulai lelah? Namun dalam kelelahan itu, mungkinkah hanya akan menghambat bagai mana daya pikir itu berpikir? Menjadi terlalu berpikir, apakah manusia dapat disebut waras pada akhirnya, yang sebenarnya mereka tersiksa oleh jalan pikirannya sendiri termasuk memandang cinta yang sebenarnya lahir dari pikiran?
"Rasanya dalam bentuk apapun, cinta menyedot energi didalamnya bukan saja butuh sesuatu yang harus diumpan balik. Namun juga kerelaan dalam memberi sesuatu, karena cinta sendiri apapun bentuknya yakni; untuk sebuah kerelaan! Sama halnya menulis, proses yang panjang, menggali ide, mengetik buah-buah ide, mengedit tulisan, belum ketika mereka harus mencetak sendiri tulisannya dengan biaya sendiri, dengan kata "cinta" saja memang tidak mudah. Tetapi kepuasan karena suduh mewujudkan cinta itu sendiri dengan rasa bangga dan kebahagiaan, tidak laku sebagai tulisan yang bernilai pun tidak apa-apa. Mungkin sejatinya cinta adalah mewujudkan apa yang menjadi kehendak untuk dicintainya tersebut, bahan dari umpan baliknya sendiri".
Memang tidak ada hari yang tidak dalam pikiran manusia begitupun dengan hasilnya menjalani hari-hari yang dijalaninya sebagai wujud cintanya dalam kehidupan ini. Semua hari dalam waktunya adalah pikiran-pikiran itu bagi manusia. Mungkin karena manusia mempunyai pikiran, dan ia harus terus berpikir apa yang perlu dipikir dalam hidupnya untuk dapat terujud dalam kenyataan dari kehidupannya? Harus-kah manusia itu selalu berpikir dan berpikir diwaktu kehidupannya? Dan bagimana meletakan pikiran itu selain tertidur menghentikannya? Rasanya tidur adalah meditasi yang dilakukan manusia paling efektif untuk mencari ketenangan dalam hidup manusia itu sendiri; mencari ketenangannya.
Menjadi mausia "Prio" memang sedikit ingin bertanya lagi pada dirinya sendiri, mengapa selalu saja ada hari dimana; jalan pikirannya sama sekali tidak membuat ia nyaman menjalani harinya? Laptop, buku, dan air putih, ditambah buah Salak yang ada didepannya, apakah itu dapat menenggelamkan pikirannya untuk lebih bersantai malam ini dengan saraf-saraf otaknya yang tegang untuk dijadikan sebuah karya untuk kehidupannya?
Pelarian sebagai bentuk pelipur diri memang terkesan atau dikesankan menjadi penting bagi setiap manusia. Berbagai pelarian itu mungkinkah benar bahwa: "Prio lari untuk selalu memperbaiki diri atau justru malah semakin memprosokan diri pada jurang lubang penderitaan yang terdalam"?
Dan tentang berbagai jenis pelarian itu, apakah ada pelarian yang benar-benar membangun hidup manusia? Ketika patah, ia bukan harus tumbuh, tetapi harus terus tersirami oleh air supaya ranting-ranting dalam bangunan pohon yang kekeringan ini dapat berdaun kembali. Gambarannya; "Manusia adalah pohon bagi dirinya sendiri yang perlu tumbuh sehat dan waras menanggapi semua bentuk ranting dalam pikirannya yang semakin hari semakin tumbuh cabang-cabang itu untuk menemukan ruangnya" .
Memang Prio sendiri juga masih bingung dalam menjadi manusia, mengapa ia selalu dihadapkan pada kondisi hidup yang sangat paradoks sebagai manusia? Terkadang didalam lamunannya sendiri, ia seperti tengah menjadi gila, ia akan selalu gila memandang hidupnya sendiri. Oleh karena itu hanya orang yang sama-sama gila yang mau berteman dengan orang gila seperti Prio dalam memandang hidup yang sangat kontradiktif.
Untuk itu mendapatkan teman yang gila saja susah bagi Prio, apa lagi mendapat pacar "wanita" yang sama "gila" sehingga dapat dipacari bahkan dinikahi. Mungkinkah orang yang "waras" tapi gila akan bertemu dengan karakter orang demikian? Memandang hidupnya yang gila dalam kewarasaanya tersebut?
Rokok yang ingin dihisap oleh Prio, atau dengan Bir disana yang membuat sarafnya agak sedikit terbang bersama lamunannya, apakah itu merupakan pelarian yang baik untuk dijalankan menelanjangi hari-hari? Karena untuk membeli Bir atau Rokok sendiri begitu mahal kini, dimana untuk dapat membeli semua itu, upah satu hari bekerja harus habis tidak tersisa, bahkan untuk memulihkan tenaga dengan makananya yang harus mereka beli merekapun tidak punya nilai uang lebih dari kerjanya tersebut.
Tidak ada kedamaian seperti menikmati tidur pulas, namun bagimana ketika tidur itu sudah tidak lagi dapat dinikmati karena bayang-bayang realitas sendiri menghantuinya? Kekhawatiran dan kegelisahan pada sesuatu yang belum terjadi dan hanya ada ditatar pikiran, untuk menjadi waras memang tidak mudah, menjadi gila apalagi, justru semakin tidak mudah karena lingkungan sosial akan mengisolasinya.
Sesulit apapun Prio menjadi dirinya sendiri, ketikan-ketikan suara hatinya yang harus terketik pada akhirnya menjadi bentuk terapi, apakah ini derita bagi orang-orang yang berada dalam kesendirian dan cenderung menemukan dirinya dengan menulis? Ungkapan yang abstrak, mental yang begitu saja dapat berubah-ubah, terkdang ia dapat berbahagia, tetapi kekalutan pikirannya, yang justru dirinya terperosok pada lubang pikiran yang membuat derita sebagai dirinya.
Prio menyadari, mendambakan suatu kesempurnaan dalam hidup memang konyol, bau dupa saja yang sedikit dapat membuat terapi, bila dibakar, ia bukan saja akan membuat dada sesak bila terus dihirup, tetapi hidung untuk menghirup itu, rasanya tinggal setengah, karena setengahnya dari hidung adalah asap yang terbakar dengan tajam menusuk paru-paru yang bersih tanpa asap rokok. Sebab merokok diabad ke-21 bukan masalah kesehatan yang diperkaran Prio, hanya saja harga yang mahal membuat rokok haruslah menjadi barang sampah yang tidak patut untuk dibeli.
Mata yang masih sayup dirasakan Prio pagi ini, terus saja ia menulis untuk membuat suasana hatinya menjadi lebih baik dan semakin baik lagi untuk bereaksi terhadap hidupnya. Apakah benar seorang penulis itu rawan dengan menidap gangguan mental? Ataukah mungkin gangguan mental itu sudah di-idap penulis sebelum ia menulis? Dan gangguan mental itu menjadi ringan bebannya ketika ia mulai menulis?
Tetapi kecenderungan lari terhadap menulis, apakah itu juga suatu kehendak alamiah manusia untuk mengobati rasa ketidakwarasaanya sendiri dalam kejiwaannya? Mungkinkah kelainan pada jiwa yang membuat gila sendiri dialami semua manusia yang katanya waras itu dalam aktivitas sehari-hari mereka?
Haruskah hidup semua manusia digantungkan dengan keberadaan yang melampaui dirinya untuk berpasrah bahwa; "hidup dalam apapun kondisinya harus tetap dinikmati dan dijalani"? Apakah dengan konsep kenikmatan yang tergambar jelas dirasakan orang lain, mungkinkah itu benar-benar idealnya kebahagiaan terhadap diri kita sendiri? Prio terus bertanya dalam sesuguhan ketikannya di pagi yang menyebalkan ini, hari libur yang justru tidak bersahabat, ia "Prio" ingin terus melajutkan narasi teks novelnya yang banyak ia kisahkan dari kontradiksi hidup dirinya sendiri.
Musik instrumental yang harus dimainkan, pagi buta yang cerah Prio sudah didepan laptopnya, karena tiada hiburan lagi, ia akan kemana saat pagi? Dengan siapa? aAakah ada yang ingin berteman dengannya? Mengapa wanita itu, ia selalu dapat tersenyum menyembunyikan kegundahan hati dan hidupnnya? Walapun hanya diimajinasinya saja, mungkin benar keindahan wanita adalah seni dari mahakarya tuhan, dimana mereka tidak ada habis-habisnya untuk terus ditafsirkan.
Wanita yang pernah bertanya kepada Prio yakni Rinasih, suka membaca? Oh, suka penulis juga? Orang seperti kamu itu harusnya suka dengan film, Prio hanya menjawab singkat: "ia hanya suka dengan film spiritualis dan filosofis, rasanya hanya kebijaksanaan dan kerohaniaan yang dapat mengubah hidup manusia, mendefinisikan hiburan pun tetap harus ada nilainya.
Dan semua pertanyan "wanita" yang dilontarkan pada pria, apakah sebuah basa-basi yang tidak terhindarkan dan tidak usah ditangapi secara serius untuk lebih mengenal orang lain? Dan tentang sisi gelap, haruslah ditampilkan sebagai sisi gelap yang berengsek, hidup ini memang brengsek dan kita dipaksa untuk tetap menikmatinya! Brengsek! Apakah ini yang dinamakan hidup waras tapi gila? Sekali lagi, Brengsek sekali hidup ini?
Nyatanya dalam cinta yang harus termanifestasi dalam kehidupan ini, sebrengsek-brengseknya cinta tetap saja ia adalah sebuah makna yang harus dikerjar karena kehendak alamiah manusia untuk melanjtkan hidup menemukan cintanya. Namun dengan cinta sesama manusia, biarlah cinta terhadap pengetahuan yang diimplementasikan dalam bentuk karya tulisan Prio sendiri menjadi wujud cinta tersebut.
Cinta terhadap laki-laki dan perempuan akhirnya terwujudkan dalam kehadiaran anak manusia akan seperti apa kisah dari perwujudan cinta ini untuk prio biarlah menjadi misteri. Terkadang cinta antara lawan jenis sendiri hanyalah gairah insting dari kehendak untuk berkembang biak manusia meneruskan spesies. Cinta terhadap wanita memanglah wajar, dan itu tidak pernah salah walapun tidak terungkapkan dengan baik.
Rinasih yang tetap mendingin apalagi dengan prio, ia hanyalah seorang yang canggung ketika berhadapan dengan orang-orang yang masih terlihat asing oleh dirinya. Karena definisi keasingan bagi manusia yakni; walaupun setiap hari melihat bahkan berada ditempat yang sama dengan orang lain, tidak ada hasrat untuk kenal lebih dekat, bagi prio semua orang disekitarnya merupakan orang asing. Dan yang lebih terasing sendiri bagi prio, ia bukanlah orang yang dapat mendahuli percakapan, karena itu, berada didalam lingkungan yang cuek, ia akan terus menjadi orang yang terasing.
Dan kata cinta bagi dirinya pun tetap pada keasingan itu, bahkan rinasih sebagai wanita yang prio kagumi, iapun tetap orang asing yang kebetulan dihasrati secara instingtif menjadi parter dalam menjadi manusia yang berkembang biak untuk menunaikan hasrat sebagai manusia yang menginginkan melestarikan spesiesnya.
Kata cinta mungkin seperti; "agama yang candu bagi masyarakat ungkapan Karl Marx". Mungkin cinta itu memang harus terkenali, tidak mengambil jarak untuk meruntuhkan tembok social mereka masing-masing dalam menyambut cinta. Kemisteriusan dari Rinasih tentang bagaimana ia membaca cinta, membaca lawan jenis dan membaca orang-orang yang sebelumnya ia sudah bersimpati kepadanya.
Mungkin sesuatu itu yang prio terus bertanya pada dirinya sendiri mencoba untuk terus mengamati rinasih, meskipun cinta terkadang sulit ditebak akan siapa yang pantas mendapatkannya, rinasih mungkin adalah orang yang selektif itu. Sebab banyak juga orang yang tentu secara insting menginginkannya sebagai partner dalam berkembang biak. Prio rasa dirinya yang tidak berani untuk menggoda rinasih, mengajaknya hanya sebatas mengobrol santai, tetapi rinasih juga bukan seseorang yang polos tanpa pengetahuan secara instingtif mana pria yang benar-benar layak untuk pendamping hidupnya.
Rinasih adalah orang yang setia, ketika ia sudah mencintai seseorang, mungkin titik dari cintanya itu adalah kesetiaanya terhadap cintanya tersebut. Maka tidak heran jika dirinya menjadi pemikir cinta, supaya dengan kekehawatiran yang melakat pada dirinya tersebut tidak menjadi kenyataan pahit yang harus berulang kembali diasakan oleh hidupnya.
Tetapi secara sensitifitas dan insting sebagai manusia, wanita lebih unggul dari pria. Rinasih mempunyai keunggulan didalam instingnya membaca pria. Ia akan tahu mana laki-laki yang benar baik untuk dirinya, meskipun ia harus berpikir bagaimana ketika ada pria yang menginginkannya, ia harus secara elegent dalam menolaknya. Tentu prio juga pernah ditolak secara elegant, menonton film di bisokop mungkin terlalu murah untuk saling mengenal, namun sudahlah, kepercayaan kepada orang yang baru beberapa hari kenal memang demikain, sangat mahal bagi normatifnya orang Indonesia.
Karena orang Indonesia sendiri pada budaya romansanya, seperti ada kesangsian jika memang mereka tidak ada kemenarikan sebelumnya. Mungkin prio memang tidak menarik untuk rinasih, tetapi ketidakmenarikan itu hanya karena rinasih belum mengenal siapa sebenarnya prio, dan terburu-buru dalam sangsi menilai orang dari luar, dan enggan mengenal diri orang lain lebih dalam. Namun insting seperti tidak bohong, Rinasih bagi prio memang orang yang menarik.
Sebaliknya prio bagi rinasih apakah bisa menjadi menarik? Tentu, prio dengan kepribadiaannya yang unik tersebut, pria pendiam yang tidak banyak bertingkah, sesekali membuat rinasih gemes memandang kepribadiaanya yang absurd, menarik tidak menarik tidak ada soal, prio hanya ingin menjadi dirinya sendiri, meskipun kelekatan kekaguman kepada rinasih terus bergema.
Prio tahu rinasih sendiri adalah seoraang pemarah dalam keceriaannya, pandai memaafkan atau tidak prio tidak memperdulikan itu. Jika memang ia orang yang murni dalam memandang orang lain, pasti tidak perlu seseorang yang ingin hidup bersamanya menunjukan terlalu berlebihan cinta atau perasaan padanya. Tetap akan menjadi kesia-siaan belaka ketika; apa artinya manusia berjuang mendapatkan kata "iya" dari lawan jenis untuk hidup bersama tetapi sebelumnya lawan jenis itu memang tidak punya ketertarikan sedikitpun.
Biarlah ketertarikan itu muncul terlebih dahulu ketika memandang manusia dengan sisi orisinalitasnya. Prio memang ingin menjadi orisisnil memandang cinta. Perkara rinasih juga tertarik dengan konsep kepribadian prio, suatu saat nanti ketika saatnya ada sesuatu, pasti dua hati ketertarikan tersebut akan bertemu dijalannya. Menebak memang sulit, berjuang tanpa restupun sama tidak ada artinya. Narasi cinta, wanita dan persamaan candu seperti agama dalam romansa, ini menjadi bahan cerita, akan terus menjadi cerita yang layak sebagai bahan pemikiran kita semua. Karena berpikir cinta membuat manusia menjadi waras tetapi terkadang gila.
Toto Priyono